Mertua Galak

Mertua Galak
By : Siti Kumala dan Arifin

"Tuh kau lihat? Suamimu itu selalu aja di luar. Gak pernah di rumah! Kenapa sih kamu milih dia jadi suamimu?"

Itulah yang sering diucapkan sama mertuaku. Selalu memojokkan sikap dan kegiatanku. Sebab pantang aku ikut latihan militer di luar kota, selalu saja menjadi bahan ghibahannya. Bukan ibu mertua, melainkan bapak mertua yang ikut campur. Selalu suka membandingkan menantunya yang kerja di perusahaan. Menantunya sering mengajak mereka liburan luar negeri. Bagaimana dengan aku? Hanyalah seorang angkatan darat dengan gaji yang bisa aku tabung untuk masa depan calon anakku.

"Mas, maafin ibuku, ya? Dia selalu gitu," ujar istri yang ikut duduk di teras sambil membawa secangkir kopi untukku.
Dan kalimat itulah yang kudengar dari istri ketika mertua selalu mengejek. Apa yang aku bisa lakukan? Hanya diam. Ya, diam. Aku tidak punya wewenang di sini. Di rumah mertua.

"Yah, mau gimana lagi, Dek? Mas ini hanya numpang di rumah orangtuamu. Aku yang salah karena tidak keras untuk membawamu ke kota Medan." Aku pun merendah.

"Jangan gitulah, Mas."

"Makanya, jadi orang itu harus punya rumah sendiri. Jangan numpang!" Si ibu mertua keluar rumah, tetapi matanya tertuju padaku. "Kau itu laki-laki! Harusnya punya sendiri! Percuma kau angkatan, tapi masih juga numpang!"

"Bu, saya baru dua tahun berdinas. Tabungan saya hanya cukup untuk persalinan Siti. Anak kami akan lahir dua bulan lagi."

"Halah! Alasan aja kau, Arifin! Bilang aja kau itu ga punya uang!"

"Bu!"

"Apa? Aku tidak sudi kalo anakku punya suami yang suka numpang di sini!"

"Bu, udahlah. Mas Arifin udah berusaha ...."

"Kau diam, Siti! Ini urusanku sama Mas-mu!" bentak Ibu.

Hampir tiap hari aku selalu bertengkar dengan mertua. Isi pertengkaran kami hanya itu saja. Berulang kali Siti berusaha menjadi penengah. Aku tahu posisi Siti saat ini. Di sisi lain, dia masih menjadi anak orang tuanya. Di sisi lain, dia istriku. Kami menikah sudah lima tahun lalu dan dia telah mengandung anak pertama. Itu adalah hal yang kami nantikan.

"Nikah udah lama tapi rumah belum ada. Tiga tahun pertama kalian menikah itu sebenarnya Ibu ga sudi biarin anak Ibu tinggal di rumah reyot kau. Makanya Ibu tarik Siti kemari."

"Lagian Bapak sebenarnya tidak merestui pernikahan kalian, tapi karena Siti belum nemuin jodohnya, ya apa boleh buat?"

Di antara semua ucapan mereka, hanya kalimat itu yang menusuk dadaku. Tinggal bersama mertua membuat kepala menjadi panas. Ingin rasanya aku membawa Siti kembali ke Medan, tepatnya Kodam. Biarlah kami tinggal di rumah sederhana tapi hati kami tentram. Namun, ada saja alasan mereka untuk menahan Siti.

"Tapi, Mas, gimana kalo mereka marah?" tanya Siti terlihat jelas raut yang ketakutan.

"Kamu tenang aja, biar Mas yang bicara."

"Mas yakin?"

"Dek, sudah saatnya Mas ngajak kamu pindah ke Kodam, tinggal di sana. Biar Mas ngurus surat pindah dinas dan tempat ngajar kamu."

Aku sangat beruntung menikahi wanita yang penyabar. Dia tidak tampak tertekan akibat sering mendengar pertengkaran kami. Aku sangat bersyukur.

"Baiklah, Mas. Aku ikut aja." 

Aku tersenyum lalu mengelus kepala yang berbalut hijab tosca itu. Minggu depan kami harus pergi dari sini, walau kutahu tak mudah melakukan semua. 

Seminggu berlalu, semua surat sudah terurus. Pastinya tanpa memberitahukan mertuaku. Dalam hati terbesit kelegaan, sebentar lagi aku akan bebas dari cemoohan mertua. Namun, setibanya di rumah, hal tak terduga terjadi. Kulihat Siti menangis tersedu, bagian depan hijabnya sudah basah. Sudah lama dia menangis.

"Ada apa ini?" tanyaku memberanikan diri menatap bapak mertua yang berkacak pinggang. Sorot matanya tajam, tersirat kemarahan di sana.

"Dek, ada apa?" Aku memegang kedua pundak istri, menatap retina yang memerah itu. Dia hanya menggeleng lalu berlari meninggalkanku.

Pandanganku kembali beralih ke pria berperut besar itu. Apa lagi sekarang? Apa dia memarahi atau mengancam istriku? Pertanyaan-pertanyaan buruk mulai terbesit.

"Kalau kau mau pindah, pergi sendiri. Gak usah kau bawa anakku itu, Arifin!" Suara itu hampir memekakkan telingaku. Dari mana dia tahu kami mau pindah. Apa Siti? Ah, tidak mungkin dia bukan orang seperti itu.

"Pak, Siti itu istriku," balasku, "aku berhak."

"Aku bilang tidak, ya tidak!" Dia melewatiku yang bergeming. Semua tindakanku selalu salah di matanya. Tinggal di rumah ini selalu dighibah, pergi juga tak diberi ijin. Tidak! Aku tidak mau seperti ini, kami harus tetap pergi.

"Ayo!" ajakku pada Siti. Sebelah tangan mengamit tangannya, sedangkan yang satu menarik koper pakaian. Meski sempat tak yakin, tetapi akhirnya istriku ikut juga.

Jalanan sepi, wajar saja malam sudah larut. Kami persis seperti maling, celingak-celinguk takut ketahuan. Tak lama kemudian sebuah angkot berhenti, aku yakin angkot itu bisa mengantar kami.

"Ke Bandara, Bang!" seruku sembari menuntun Siti yang susah duduk karena perut besarnya.

Perjalanan cukup panjang, kuraba kantong untuk mengambil ponsel. Berseluncur di dunia maya, masih sama tidak ada berita yang menarik. Namun, netraku seketika melotot melihat sebuah berita yang di-up dua detik yang lalu.
"Sebuah rumah terbakar tanpa sisa, untungnya tak ada korban jiwa."

Aku menghela napas lega, kulirik Siti yang sudah tertidur. Sekarang aku yakin, mertuaku tidak akan berani lagi menghina. Secara kan mereka sudah tidak punya apa-apa. Ternyata petasan itu cukup berguna. Senyum kecil beriringan dengan mata yang terpejam. Tidur dululah menunggu sampai Bandara.

End.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mari Membuang Sampah Pada Tempatnya!

Review Buku Adonis (berhenti mencintaiku dalam diam)

Review Burn Your Bridges